Tan Eng Goan – Kapitan Antek Belanda?

 



Tan Eng Goan – Kapitan Antek Belanda?
Karya: Hadi Hartono
Batavia, 1802–1872: Antara kuasa, warisan, dan pengkhianatan


Bagian I: Latar, Warisan, dan Awal Kuasa

Tan Eng Goan lahir pada tahun 1802 dari keluarga Tionghoa kaya yang telah lama menetap di Batavia. Kakeknya adalah pemilik tanah partikelir di Tangerang, dan ayahnya menjalin hubungan dagang dengan pejabat kolonial VOC yang kala itu mulai menurun pengaruhnya. Sejak kecil, Tan dididik dalam lingkungan elit yang menjunjung tinggi nilai Konfusianisme, loyalitas keluarga, serta kelicinan dalam beradaptasi dengan kekuasaan kolonial yang berubah-ubah.

Pendidikan formalnya terbatas, namun ia dibimbing oleh guru-guru privat yang mengajarkan aksara Tionghoa klasik dan hukum dagang Belanda. Dunia Tan Eng Goan adalah dunia peralihan – antara budaya Tionghoa yang kompleks dan struktur kekuasaan kolonial yang menuntut kesetiaan ganda. Di usia muda, ia sudah menyadari bahwa menjadi "Cina totok kaya" saja tidak cukup — ia ingin berkuasa, dihormati, dan dicatat dalam sejarah.

Naiknya Tan Eng Goan ke jabatan Kapitan Cina terjadi dalam konteks perubahan sistem kolonial dari VOC ke pemerintahan Hindia Belanda. Setelah melewati serangkaian kompromi dan negosiasi yang rumit, serta dengan restu diam-diam dari Residen Batavia, Tan dilantik menjadi Kapitan Cina pertama pada tahun 1837 — jabatan yang tidak hanya simbolik, tetapi penuh kuasa atas komunitas Tionghoa di Batavia.


Bagian II: Politik, Komunitas, dan Relasi Sosial

Sebagai Kapitan, Tan Eng Goan menjadi pemimpin formal komunitas Tionghoa. Namun, jabatan ini bukan sekadar urusan upacara: ia mengatur distribusi pajak, sistem pacht (pajak monopoli atas candu, judi, dan pasar), mengelola perizinan perdagangan, dan menjadi penghubung utama antara pemerintah kolonial dan masyarakat Tionghoa.

Kritik mulai muncul. Banyak dari kalangan Tionghoa miskin menganggap Tan lebih mewakili kepentingan Belanda daripada rakyatnya sendiri. Ia lebih sering berada di rumah mewah di Molenvliet atau di tanah-tanah partikelirnya di Tangerang, daripada di tengah masyarakat yang bergelut dengan penindasan pajak dan diskriminasi sosial. Namun Tan memiliki pandangan sendiri: stabilitas dan kelangsungan komunitas Tionghoa hanya bisa dicapai jika ia berdamai dengan sistem kolonial — bukan melawannya.

Hubungan Tan dengan pejabat kolonial seperti Residen, Kontrolir, dan Gubernur-Jenderal berkembang secara pragmatis. Ia memberikan loyalitas, data statistik komunitas, dan kadang informasi intelijen — sebagai balasannya, ia memperoleh hak dagang, izin tanah, dan ruang untuk memperkaya keluarganya secara sah. Pemerintah kolonial menganggap Tan sebagai model inlander loyalis — seorang yang cerdas, patuh, namun tetap bisa dimanfaatkan.

Di sisi lain, hubungan Tan dengan komunitas elite Tionghoa seperti keluarga Khouw, Oey, dan Lie tidak selalu harmonis. Perebutan pacht, konflik status siah dan cabang atas, hingga perbedaan pandangan tentang peran elite Cina dalam masyarakat menciptakan ketegangan internal. Tan harus memainkan politik dua muka: menjadi mediator, pemimpin spiritual, dan pengusaha sekaligus.


Bagian III: Ekonomi, Tanah, dan Kekuasaan Lokal

Salah satu warisan terbesar Tan adalah penguasaan atas tanah-tanah partikelir di Tangerang dan sekitar Batavia. Bersama keluarganya, ia mengelola lahan luas untuk pertanian padi, tebu, serta produksi genteng dan batu bata. Sistem buruh kontrak (koelie) digunakan secara luas — sebagian besar berasal dari kalangan pribumi miskin atau orang-orang Cina yang terlilit utang.

Tan mendirikan perusahaan keluarga bernama Tan Tiang Po en Zonen, yang kelak menjadi cikal bakal dinasti ekonomi keluarga Tan. Perusahaan ini menggabungkan pengelolaan tanah, pengangkutan hasil bumi, dan perdagangan hasil produksi ke Batavia dan pelabuhan lainnya. Sistem administrasi kolonial yang rapi memungkinkan Tan mengatur laporan pajak dan distribusi rente dengan cermat — bahkan menciptakan ilusi bahwa usahanya memberi manfaat kepada Belanda.

Namun, suara perlawanan mulai tumbuh. Para demang dan kepala desa di Tangerang mengeluhkan perlakuan kasar mandor Cina di lahan milik Tan. Mereka menuduh Tan memperlakukan orang pribumi seperti budak, sementara dirinya hidup mewah dan dekat dengan kekuasaan kolonial. Belanda tetap bungkam, selama laporan pajak lancar dan tidak ada kerusuhan.

Tan juga memperluas bisnisnya ke bidang industri awal — pabrik penggilingan padi, gudang candu, bahkan proyek konstruksi kanal. Namun, setiap ekspansi ekonomi selalu disertai dengan gesekan sosial: kecemburuan etnis, penggusuran tanah adat, dan eksploitasi tenaga kerja. Narasi tentang "Kapitan Antek Belanda" mulai berkembang — pelan namun menusuk, dalam bisikan pasar dan surat kabar gelap yang menyebar diam-diam.


Bagian IV: Konflik Sosial dan Politik

Memasuki dekade 1860-an, suasana sosial dan politik di Hindia Belanda memanas. Semangat anti-kolonial di kalangan elite pribumi, kebangkitan kesadaran sosial dalam komunitas Tionghoa bawah, serta tekanan internasional terhadap sistem kolonial mulai mengguncang posisi Tan Eng Goan.

Ia dituduh menindas masyarakat Tionghoa miskin lewat sistem pacht, memperkaya diri sendiri dengan memanipulasi jabatan Kapitan, dan menghambat mobilitas sosial warga biasa. Beberapa tokoh muda Tionghoa menulis pamflet kritis yang menyebut Tan sebagai simbol pengkhianatan kelas. Di sisi lain, Belanda sendiri mulai ragu — Tan dianggap terlalu kuat, terlalu mandiri, dan mungkin suatu saat bisa menjadi ancaman.

Tan berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan strategi kompromi: merangkul sebagian elite muda, merevisi tarif pajak lokal, dan mendirikan beberapa sekolah Tionghoa sebagai bentuk “amal.” Namun semua itu tidak cukup. Di dalam dirinya sendiri, Tan mulai lelah. Ia menyadari bahwa jabatan Kapitan bukanlah alat pembebasan, melainkan penjara emas.

Konflik juga muncul dalam keluarga. Anak-anaknya, terutama Tan Tiang Po, mulai berseteru soal arah perusahaan, pembagian warisan, dan loyalitas kepada Belanda. Beberapa anggota keluarga bahkan diam-diam mendukung gerakan sosial untuk membatasi kuasa ayah mereka sendiri. Tan Eng Goan, di penghujung hayatnya, merasa asing di negeri yang pernah ia kuasai.


Bagian V: Warisan, Wafat, dan Refleksi

Tan Eng Goan wafat pada tahun 1872. Upacara pemakamannya megah, diiringi oleh para pejabat Belanda, elite Tionghoa, dan pengikut setia dari komunitas Cina Benteng. Namun di balik kemegahan itu, masyarakat terbelah: apakah ia pantas dikenang sebagai pahlawan komunitas atau hanya perpanjangan tangan kolonial?

Setelah kematiannya, warisan ekonomi Tan diteruskan oleh anak-anaknya, terutama Tan Tiang Po yang kemudian diangkat menjadi Luitenant der Chinezen dan melanjutkan dinasti kekuasaan keluarga Tan. Namun zaman telah berubah. Gerakan anti-pacht semakin besar, masyarakat mulai mendesak pembubaran sistem Kapitan, dan nasionalisme pribumi tumbuh di mana-mana.

Sejarawan abad ke-20 dan ke-21 mulai membaca ulang peran Tan Eng Goan. Sebagian menyebutnya sebagai tokoh transisi — pengelola stabilitas dalam masa kolonial yang brutal. Sebagian lain mengutuknya sebagai pelayan kekuasaan asing. Novel ini mengajak pembaca untuk menelusuri sisi-sisi kelam dan terang dari seorang pemimpin komunitas yang hidup dalam jebakan sejarah.

Apakah Tan Eng Goan seorang antek, pengkhianat, atau justru korban sistem yang tidak ia ciptakan?

Apakah mungkin menjadi pemimpin yang adil dalam struktur kolonial yang tidak adil?


Penutup:

Tan Eng Goan – Kapitan Antek Belanda? bukan sekadar kisah satu orang. Ini adalah narasi tentang kuasa, identitas, dan dilema moral dalam sejarah kolonial Indonesia. Dalam novel ini, Hadi Hartono tidak memberi jawaban pasti, tetapi membuka ruang perenungan: tentang bagaimana sejarah dibentuk, siapa yang menulisnya, dan apa artinya menjadi "bagian dari sistem" dalam dunia yang tidak adil.


Berikut narasi promosi yang bisa digunakan:


📘 Tan Eng Goan – Kapitan Antek Belanda?
✍️ Hadi Hartono
📍 Batavia, 1802–1872

Apakah Tan Eng Goan benar-benar seorang antek Belanda? Atau justru korban dari sistem kolonial yang licik dan penuh intrik? Dalam novel sejarah ini, tersingkap pergulatan batin dan politik seorang Kapitan Tionghoa pertama di Batavia — antara kuasa, warisan, dan tuduhan pengkhianatan.

🔍 Dari tanah partikelir Tangerang hingga lorong-lorong pecinan Batavia, kisah ini mengupas lapis-lapis relasi kolonial, ekonomi, dan perlawanan diam-diam.

📲 Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.
Klik link ini untuk mulai membaca:
👉 https://read.kbm.id/book/detail/ef903308-d6dd-48ef-8c3c-3a7fb8005005?af=9b1ed3a8-e292-4cad-8a0a-f5aa618ccfd5